memperguncingan masalah KTP.. penting gak yaa?!

menarik sekali ketika saya mendapat undangan dari seorang guru untuk menghadiri sebuah dialog publik yang berawal dari penelitiannya terkait dengan akses kepada keadlilan sehubungan suatu dokumen kependudukan yang sangat fundamental, KTP. ketika menerima undangan ini saya teringat tentang kisah saya dulu ketika masih menjadi mahasiswa yang ditugaskan beliau untuk meneliti tentang access to justice di kalangan masyarakat marjinal. karena pengalaman ini dan karena rasa cenayang saya maka dengan bersemangat sayapun menghadiri seminar beliau dan apa yang saya dapatkan.. what a greatfull discussion!! 

KTP sebuah identitas hukum yang menjadi HAK 
membincangkan tentang KTP, membawa saya kembali teringat akan melakuakn riset singkat bersama2 dengan teman2 JDFC. pada waktu itu kami melakukan riset sederhana di sebuah perkampungan pemulung di wilayah beji. pada saat itu kami turun ke lapangan dengan sebelumnya membuat janji dan mengadakan semacam FGD dengan beberapa pemulung wanita atau istri pemulung di wilayah tersebut. temuan yang kami dapat cukup untuk memberikan gambaran mengenai pengalaman2 masyarakat marjinal dalam menggunakan hak mereka untuk didaftarkan sebagai penduduk. seperti hipotesis yang kami telah perkirakan, mereka mengalami hambatan dalam mendapatkan hak2nya terkait dengan pencatatan kependudukan. mereka harus membayar 100ribu rupiah untuk tiap KTP, belum lagi karena mereka sebagian besar pindahan maka mereka harus mengurus izin pindah dan lain sebagainya. belum lagi kerumitan birokrasi yang mereka hadapi yang akhirnya mereka harus menye temuan2 ini kami buat laporannya lalu kami presentasikan di depan kelas. ketika melihat presentasi yang dikemukakan oleh sang guru di depan forum diskusi, setidaknya penngalaman itu rasanya berulang namun tentunya kali ini sang gurulah yang mengalami pengalaman itu. menarik.. 

KTP.. mungkin kata yang cukup sederhana dan familiar di kalangan orang dewasa di Indonesia. mungkin. setidaknya untuk orang di daerah perkotaan yang masih tergantung dengan sebuah entitas yang bernama negara. namun tetap saja, KTP adalah sebuah hak dasar, sebuah pintu masuk seseorang mengambilkan hak2 normatifnya. karenanya, KTP bagai sebuah kunci untuk memasuki pintu rumah kita, Indonesia. 

pada dasarnya, fungsi utama dari KTP adalah identitas seorang yang telah diakui kecakapannya di depan hukum. karenanya KTP diperuntukan bagi orang yang dianggap telah dewasa, setidaknya berumur 17 tahun menurut UU No. 23 tahun 2006 tentang ADMINDUK. fungsi sebagai identitas ini sangat penting, karena identitas penduduk ini secara praktis dibutuhkan untuk berbagai pelayanan negara kepada rakyatnya. tercerabutnya hak rakyat untuk mendapatkan KTP merupakan tindakan yang mencerabut hak salah satu unsur dalam negara atau dalam konsepsi teori perjanjian masyarakat, hal ini dapat menghancurkan janji pemerintah kepada rakyatnya. dan hal ini akan berimplikasi terhadap pengakuan rakyat terhadap eksistensi dari sebuah negara, negara dapat saja batal (minimal dalam pikiran rakyatnya) apabila hak dasar ini saja tidak mampu dilaksanakan. 

sebagai identitas hukum lalu berlanjut ke fungsi2 lainnya laksana bola salju sebuah fungsi, akhirnya pembuatan KTP (atau rezim pendaftaran kependudukan lainnya) menjadi suatu yang sangat penting untuk dipastikan kesempurnaan pelayanannya terkait dengan sifatnya yang sangat fundamental. namun yang menjadi kemirisan kita lainnya adalah, terkait dengan hal ini, lagi2 negara belum mampu memfasilitasinya dengan baik dengan dihadirkannya fakta2 tersebut di atas, bahwa pembuatan KTP yang seharusnya gratis menjadi mahal, bahwa pembuatan KTP yang seharusnya dengan secepat-cepatnya menjadi lama dan lain hambataan-hambatan lainnya. 
mendapatkan temuan ini, saya juga agak usil dengan menggoogling beberapa informasi terkait dengan pendaftaran penduduk kita dalam rangka mencocokan temuan ini dengan fenomena lain yang ada. Misalnya Akta Kelahiran. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNDP, tercatat bahwa jumlah masyarakat kita yang memiliki akta kelahiran hanya sejumlah KURANG LEBIH 50-60 % dari anak2 kita yang memiliki akta kelahiran. Sedangkan sisanya hanya menjadi ‘hantu gentayangan’ yang secara factual mereka ada, mereka bernapas, berlarian, bermain bola, bermain petak umpet, namun mereka tak dapat digapai oleh indra penglihatan hokum formal kita. 

Sebenarnya, permasalahan awal prosedur pembuatan KTP yang ahirnya menjadi mahal dan relative lama ialah dengan kurang tegas dan detailnya norma-norma hokum kita mengatur mengenai prosedur pembuatan KTP dan treatment terhadap pelayan public di tingkat bawah apabila ada pelanggaran. 
Misalnya ketika kita bersandar pada perpres nomor 25 tahun 2008 mengenai tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, maka hal pertama yang perlu dikritisi dari mekanisme pendafataran penduduk dalam peraturan tersebut adalah panjangnya birokrasi yang rentan akan tingginya biaya pengurusan yang dikeluarkan oleh ‘pengurus’ pembuatan KTP/pemohon KTP. Walaupun secara formal biaya pembuatan KTP ini ditetapka oleh PERDA masing2 daerah namun sudah menjadi rahasia umum biaya itu akan membengkak jauh dari nilai yang ditetapkan. Perbedaan itu biasanya terjadi karena factor biaya transportasi dan biaya ‘jasa’ pengurusan kepada para birokrat tingkat bawah yang aliran uangnya sangat mungkin juga dibagi untuk birokrat-birokrat tingkat atas. Factor biaya transportasi juga akhirnya dapat kita pilah menjadi transportasi yang benar2 dikeluarkan oleh pemohon KTP untuk mencapai tempat pengurusan yang seharusnya hanya dilakukan dikelurahan, serta biaya transportasi yang seharusnya tidak dikeluarkan, misalnya pemohon diminta untuk menyerahkannya langsung ke kecamatan dan lain sebagainya. Biaya-biaya tersebut faktanya dikeluarkan oleh masyarakat. dan hal ini jelas memberatkan karena pembengkakan biaya yang terjadi bukan lagi dua kali lipat, melainkan dapat saja menjadi sepuluh kali lipat atau berlipat2 lebih banyak seperti yang ditemukan dalam penelitian tersebut yang menyatakan ada penduduk yang melakukan pengurusan KTP dengan biaya sampai 145 ribu rupiah. Hal ini juga senada dengan apa yang pernah saya temukan ketika melakukan riset singkat ke perkampungan pemulung di wilayah depok yang diminta biaya 100ribu rupiah untuk membuat KTP. Angka ini juga sering saya dengar di kalangan teman2 kuliah saya pada saat itu yang melakukan pengurusan KTP hingga ratusan ribu rupiah. Tentunya angka ini bukan angka yang besar untuk sebagian teman2 kuliah saya namun menjadi besar untuk teman2 saya yang ada di perkampungan2, pemulung dan lain sebagainya. Di tengah minimnya pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya, ya mereka pun menimbang, “lebih baik saya tidak membuat KTP dari pada saya mengeluarkan uang 100ribu rupiah yang dapat mengisi 20 perut. Toh Negara tak pernah peduli dengan rakyat kecil. Toh kalaupun Negara peduli, tetap saja rakyat kecil harus merangkak bagai budak untuk memperoleh bantuan. Toh Negara tak pernah ‘berkeringat’ untuk kami”. 

Hal lain yang perlu di kritisi sesuai dengan hasil penelitian sang guru adalah tidak adanya standar jangka waktu yang jelas dan standar biaya yang masih rancu. Mengenai jangka waktu, jelas2 tidak diatur, berapa lama jangka waktu verifikasi di kelurahan, di kecamatan dan lain sebagainya. Memang akhirnya ketika berbicara mengenai lama atau tidaknya waktu pengurusan, hal ini sangat relative, seperti yang menjadi alasan pemerintah ketika merespon permasalahan lamanya jangka waktu. Mereka mencontohkan lamanya jangka waktu pengurusan di Belanda yang harus menunggu satu minggu, pengurusan di Malaysia yang harus menunggu 8 bulan dan lain sebagainya. Namun sebenarnya itu tidak jadi masalah yang begitu besar, yang menjadi permasalahan ialah tidak adanya standar waktu dalam prosedur pelayanan. Sehingga adanya molor waktu dalam prosedur pelayanan KTP yang tentunya dapat dimanfaatkan dengan berbagai macam ‘kepentingan’ dari pihak pelayan sulit untuk ‘dihakimi’. 
Sedangkan mengenai biaya, mengapa dikatakan menjadi rancu adalah mungkin disebabkan karena sosialisasi yang amat minim mengenai biaya pembuatan KTP. Memang dalam perpres dinyatakan bahwa mengenai biaya ini di atur dalam Perda. Namun ternyata faktanya, sosialisasi Perda (walaupun peraturan yang jelas-jelas lebih local) untuk banyak hal merupakan suatu permasalahan lain yang cukup akut. Perda yang seharusnya lebih memasyarakat dibandingkan perundang-undangan lainnya, faktanya masih teralienasi dari masyarakat, bahkan lebih buruk dari Undang-undang. 

Kecacatan-kecacatan ini ditambah lagi dengan kecacatan dalam UU Pelayanan Publik yang sangat kurang tegas dan detail mengenai tindakan terhadap para pelayan public yang melanggar hak-hak warga Negara dalam pelayanan public. Dalam pasal 2 UU Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dinyatakan bahwa KTP adalah hak dan secara otomatis merupakan kewajiban negara untuk memberikan KTP sebagai salah satu dari dokumen kependudukan. Terkait dengan hal ini maka pelayanan atas KTP apabila kita kaitkan dengan undang-undang pelayanan public maka dikategorikan sebagai pelayanan administratif yang diamanatkan oleh undang-undang yang termasuk dalam kategorisasi dari pelayanan public. Karenanya, sanksi terkait dengan pelanggaran pemenuhan hak masyarakat ini juga sangat terkait dengan sanksi yang telah diatur dalam undang-undang pelayanan public. Namun hal yang cukup mengecewakan bagi kita adalah ternyata kondisi ‘banci’ yang sebagian besar melanda perundang-undangan kita ternyata juga melanda undang-undang Pelayanan Publik. Sanksi pidana yang diharapkan dapat memberikan deterrence effects kepada para pelayan public yang nakal ternyata dirumuskan dengan sangat banci. Pada pasal 58 dinyatakan bahwa Pimpinan Penyelenggara dan/atau Pelaksana yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 dapat dilanjutkan pemrosesan perkara ke lembaga peradilan umum apabila Penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau Penyelenggara melakukan tindak pidana. Artinya tidak ada penghukuman yang dikwalifisir terkait dengan kesalahan si pelayan public padahal kejahatan (mulai dari korupsi dan lain sebagainya) oleh para pelayan public khususnya bagi masyarakat kecil merupakan kejahatan yang telah sangat sering terjadi, bahkan masyarakat telah menganggapnya menjadi suatu hal yang wajar yang merupaka sisi lain dari ‘budaya hukum’ kita. Seharusnya kejahatan seperti ini bukan lagi ditindak dengan suatu hal yang biasa, yang tanpa gebrakan. Dibutuhkan efek jera untuk menghukum birokrat2 rakus, yang tak pernah berpikir sedetikpun untuk Negara. Karenanya kecacatan ini menambah satu lubang untuk dilalui oleh para pengepul uang haram dan makin mengurangi kesempatan bagi para pencari keadilan menagih janji Negara untuk memberikan mereka kesejahteraan. Karena bagaimana lagi mereka dapat mendapatkan kesejahteraan, sedangkan pintu masuk untuk sekedar mendapatkan peluang mendapatkan kesejahteraan saja telah terkunci rapat. Dan akhirnya kebanyakan mereka tetap tersingkirkan dipinggir jalan, dan bergentayangan laksana hantu, dia ramai diperbincangkan, namun mereka tak pernah ‘ada’ dan dianggap ‘ada’. 

Komentar

  1. Harrah's Cherokee Casino - DrmCD
    The Harrah's Cherokee Hotel 포항 출장안마 & Casino in 포항 출장샵 Cherokee, NC offers a variety of amenities including a 나주 출장안마 casino, a seasonal 보령 출장마사지 outdoor swimming pool and 원주 출장안마 a sauna.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer